Pengertian Najis
Najis menurut syara' :Segala kotoran yang menghalangi kesyahan salat yang dikerjakan dalam keadaan tiada keringanan.
Contoh-contoh Najis
Benda-benda yang termasuk najis yaitu ;1. dan 2. Tinja (tahi, facces), Air kemih (urine),
Sekalipun keluar dari burung, ikan, belalang dan binatang yang berdarah tidak mengalir; ataupun dari binatang yang dagingnya halal dimakan menurut pendapat yang Ashah. Al-Ashthakhri dan Ar-Rauyani dari kalangan ulama syafi'iyah sebagaimana pendapat Imam Malik dan Ahmad, berkata: Tinja dan air kemih dari binatang yang halal dimakan hukumnya adalah suci. Andaikata ada binatang berak atau memuntahkan biji-bijian, maka jika biji tersebut keras, dalam arti kalau ditanam masih bisa tumbuh adalah dihukumi seperti barang yang terkena najis, kalau tidak keras, dihukumi najis. Dalam pada itu, para fukaha tidak menjelaskan hukum selain bijian Guru kami menjelaskan: Yang jelas, jika pada selain bijian itu terdapat perubahan dengan keadaan sebelum ditelan, meskipun sedikit, maka hukumnya adalah najis kalau tidak hukumnya adalah barang yang terkena najis.Di dalam kitab Al-Majmu' dari penjelasan Imar Asy-Syekh Nashr dikatakan, bahwa air kemih sapi penggiling yang mengenai bijian yang digiling, adalah diampuni adanya (sebab darurat). Dari penjelasan Imam Al-Tuwaini tampaklah akan begitu pengingkarannya untuk membahas dan menyucikan barang tersebut. Menurut pembahasan Imam Al Fazari, bahwa tinja tikus jika masuk ke benda cair dan hal itu sudah menjadi bencana yang umum, adalah diampuni adanya. Mengenai apa yang kita lihat pada lembaran-lembaran daun seperti buih, adalah najis. Sebab perkara tersebut keluar dari perut ulat, sebagaimana yang telah kita saksikan sendiri. 'Anbar bukanlah termasuk tinja
berbeda dengan pendapat yang mengategorikannya tapi ia adalah tumbuhan yang tumbuh di laut.
3. Madzi; -dengan dititik dal-nya-
Dengan alasan adanya perintah membasuh zakar darinya. Ia adalah barang cair yang berwarna putih atau kuning yang biasanya keluar sewaktu nafsu seks bergejolak tidak begitu kuat.4. Wadi, -tertulis dengan dal tidak bertitik-.
Yaitu: Air putih, kotor dan kental yang biasa keluar setelah buang air kencing, atau ketika membawa sesuatu yang berat.5. Darah,
Tidak wajib membasuh zakar setelah bersetubuh, telor dan anak yang baru lahir. Guru kami berfatwa, bahwa basahan bawasir (cairan transudasi plasma) itu diampuni bagiorang yang terkena penyakit tersebut.
Termasuk suci lagi: Telor binatang yang tidak halal dimakan dagingnya, -telor binatang ini adalah menurut pendapat Ashah halal dimakan-, rambut dan bulu binatang yang halal dimakan, jika telah dicabut waktu hidupnya.
Jika diragukan, apakah rambut (bulu) tersebut dari binatang yang halal dimakan atau haram atau apakah terpisah dari binatang yang masih hidup atau bangkai maka hukum rambut (bulu) tersebut adalah suci.
Dalam hal ini, tulang dapat kiaskan hukumnya dengan bulu. Seperti itulah yang dijelaskan dalam kitab Allawahir. Telor bangkai itu jika sudah mengeras, hukumnya adalah suci kalau masih lunak, hukumnya adalah najis Air sisa minuman dari binatang yang suci, adalah suci juga Andaikata moncongnya terkena najis, lalu menjilat air yang sedikit atau benda cair lainnya aka hukumnya: Jika waktu minum itu setelah pergi jauh dalam tempo yang memungkinkan untuk menyucikan moncongnya, kembali dengan mencelupkan ke air yang banyak atau air mengalir, maka air yang sedikit tersebut adalah tetap suci sekalipun binatang itu adalah kucing, kalau tidak habis pergi seperti tersebut di atas, maka
hukum air sedikit itu adalah najis.
Guru kami (Ibnu Hajar Al Haitami, sebagaimana Imam As-Suyuti berkata --dengan mengikuti Ulama Mutaakhirin--: Sesungguhnya najis yang sedikit menurut penilaian umum adalah
rambut najis, selain najis mughallazhah, asap benda najis, najis yang terdapat di kaki lalat meskipun terlihat oleh mata, kotoran yang tertinggal pada pintu pelepasannya (anus) kotoran burung, najis yang ada pada moncongnya, kotoran binatang yang tumbuh dalam air (misalnya lintah) atau kotoran binatang kecil yang hidup di sela-sela daun nyiur yang dianyam untuk menahan air hujan di atap rumah, sekira sulit menyelamatkan air dari kotoran tersebut.
Segolongan ulama berpendapat Termasuk najis yang diampuni adanya, yaitu najis yang terbawa oleh tikus dari kamar-kamar WC, jika najis itu meratai. Pendapat ini dikuatkan oleh pembahasan Imam Al-Fazari syarat najis najis tersebut diampuni, jika najis tersebut tidak sampai mengubah air.selesai.
Binatang musang kasturi adalah suci. Sedang najis yang ada dibeberapa helai bulunya umpama tiga helai, diampuni adanya. Para ulama tidak menjelaskan Apakah yang dimaksudkan dengan rambut yang sedikit ituyang diambil dari musang ataukah yang tertinggal di dalam wadah tempat musang tersebut diambil minyaknya.
Dalam hal ini, Guru kami menerangkan: Pendapat yang jelas alasannya adalah yang awal (rambut yang diambil dari musang), jika bahan minyak kasturi tersebut sudah padat.
Sebab yang ditinjau dalam kepadatan adalah pada tempat najis saja (dasarnya: Hadis yang
berkaitan dengan masalah tikus yang jatuh ke dalam bubur saman).
Jika najisnya banyak dan berada pada satu tempat, maka tidak diampuni adanya di tempat
tersebut (benda padat); kalau nlajisnya sedikit, diampuni. Lain halnya dengan benda cair, sebab jumlah keseluruhannya seperti barang tunggal. Jika rambut yang berada dalam
benda cair itu sedikit, diampuni adanya kalau tidak demikian, tidak diampuni. Dan tidak ada sangkut pautnya lagi dengan rambut musang yang diambil dalam keadaan minyak
kasturi berupa cair. Imam Al-Muhib Ath-Thabari menukil sebagai pegangannya dari Ibnu Shabagh bahwa makanan dikeluarkan untuk dikunyah kedua kali oleh unta dan binatang lainnya (pemamah biak), adalah tidak menajiskan air yang diminumnya. Ia juga menyamakan hukum mulut binatang pemamah biak seperti anak lembu dan biri-biri,
waktu menyesap puting induknya, dengan masalah di atas.
Ibnu Shalah berkata: Sesuatu yang terkena sedikit kotoran dari mulut sang bayi, yang jelas jelas najis adalah diampuni adanya. Selain Ibnu Shalah menyamakan hukum mulut orang-orang gila dengan mulut anak kecil di atas. Seperti ini, Imam Az-Zarkasyi telah memegang kuat.
10. (Termasuk benda najis lagi )Bangkai
Meskipun sejenis bangkai lalat, yaitu binatang-binatang yang berdarah tidak mengalir. Pendapat ini bertentangan dengan Imam Al affal dan ulama yang mengikutinya, tentang kesucian binatang sejenis lalat dengan alasan tidak ada darah busuk padanya, hal ini seiring dengan pendapat Imam Abu Hanifah dan Malik ra. Oleh karena itu, bangkai adalahnajis, sekalipun tidak berdarah mengalir (darah dingin). Begitu juga rambut, tulang dan tanduknya. Pendapat tersebut berbeda dengan Imam Abu Hanifah ra.
Beliau berpendapat: Rambut bangkai dan seterusnya adalah suci,( jika tidak terdapat lemak padanya jika ada lemaknya maka hukumnya najis).Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-Asqalani (ulama yang terkenal ahli hadis) mengeluarkan fatwa, bahwa salat orang yang membawa bangkai lalat adalah sah, jika ia berada di tempat yang sulit untuk menghilangkannya .
Dan selain binatang hasil buruan yang mati sebelum disembelih (misalnya mati sebab binatang pemburu atau alat tajam). Begitu Juga janin binatang yang mati sebab induknya disembelihSelain bangkai manusia, ikan dan belalang. Dengan alasan ikan dan belalang adalah halal dimakan. Mengenai bangkai manusia, berdasarkan firman Allah swt"Dan sungguh telah Kami muliakan manusia". Dan diantara bentuk memuliakannya adalah menghukumi akan ketidak najisannya sebab mati.
Hukumnya adalah halal, ulat yang ikut termakan bersama perkara yang menyertainya (misalnya buah-buahan), juga tidak wajib mencuci mulut setelah memakannya.
Dinukil dari beberapa Ashhabus Syafi'iyah dalam kitab AJawahi, bahwa hukumnya tidak halal memakan ikan asin sebelum dibersihkan kotoran-kotoran yang berada dalam perutnya.
Menurut lahir pendapat tersebut adalah tidak ada perbedaan antara ikan besar dan kecil.
Akan tetapi, Guru kami (Ibnu Hajar Al-Haitami) mengemukakan kebolehan memakan ikan
asin kecil bersama kotoran yang berada di dalam perutnya, karena sulit membersihkannya.
11. Barang yang memabukkan
Artinya, segala yang dapat memabukkan, termasuk di sini setetes barang yang bisa memabukkan. Yang cair, misalnya arak, yaituminuman yang terbuat dari anggur dan nabidz, yaitu minuman yang memabukkan yang terbuat dari selain anggur.Kata-kata "cair terkecualikan sejenis pohon ganja dan rumput.
Khamar dapat menjadi suci setelah berubah menjadi cuka dengan sendirinya tanpa
dicampuri benda lain --sekalipun tidak mempengaruhi dalam perubahannya menjadi cuka
misalnya krikil-- wadahnya menjadi suci juga sekalipun arak mendidih dan membuih, lalu sebab pendidihan surut ke bawah lagi. Jika pembuihan khamar tersebut bukan karena pendidihan, tetapi sebab dikocok umpama, maka khamar tersebut tidak dihukumi suci. Sekalipun dituangkan arak lain di atas wadah sebelum atau sesudah kering, atas dasar beberapa peninjauan, seperti yang dipegang teguh oleh Guru kami. Menurut apa yang dipegang oleh Guru kami, Al-Muhaqqiq Abdur Rahman bin Ziyad: Arak menjadi suci jika penuangan arak lain sebelum kering arak bagian atas, bukan yang kering setelahnya.
Kemudian beliau berkata: Jika arak dituangkan dalam wadah dan diambil kembali, lalu setelah kering wadah itu dituangi arak lain dan wadah belum dicuci maka arak ini tidak bisa suci sekalipun arak itu baru berubah setelah dipindahkan ke tempat lain. Selesai.
Tanda-tanda yang menunjukkan kalau khamar itu menjadi cuka adalah rasanya masam, meskipun belum benar-benar masam dan masih membuih.
Kulit bangkai yang najis bisa menjadi suci: Dengan cara disamak sampai bersih; sekiranya
tidak akan busuk dan hancur setelah itu, jika direndam dalam air.
12. Termasuk najis Anjing, babi, dan keturunan masing-masing dalam tunggal jenis atau berkawin dengan binatang (suci) lainnya.
Ulat bangkai (belatung) anjing dan babi adalah suci. Begitu juga benang laba-laba, menurut pendapat yang masyhur seperti yang dikemukakan oleh Imam As-Subki dan Imam Al-Adzra'i. Pengarang kitab Al-Uddah dan Al hawi memantapkan atas najis benang laba-laba dan perkara yang keluar dari kulit, semacam ular hidup, sebagaimana hukum keringatnya. Hal ini telah difatwakan oleh sebagian ulama. Akan tetapi Guru kami berpendapat Dalam masalah tersebut, ada tinjauan khusus. Yang lebih mendekati kebenaran, bahwa perkara yang keluardari semacam ular hidup adalah najis, sebab merupakan bagian yang terbentuk sendiri, yang terpisah dari binatang hidup maka hukumnya sebagaimana bangkai.Guru kami berpendapat lagi Jika seekor anjing atau babi menyetubuhi wanita, lalu
melahirkan bayi manusia, maka bayi itu hukumnya adalah najis Di samping itu, ia termasuk
mukalaf yang wajib salat dan lain-lainnya. Yang jelas, persentuhan (orang lain) dengan anak tersebut dalam keadaan terpaksa adalah diampuni.
Sesungguhnya dia sah menjadi Imam salat --sebab dia tidak wajib mengulangi salatnya-- boleh masuk mesjid untuk berjamaah dan lain-lainnya, sekira badannya kering.
Mencuci barang yang terkena najis Ainiyah, adalah dengan membasuhnya sampai hilang sifat-sifat najis, baik rasa, bau dan warnanya. Warna bekas najis atau baunya yang sulit dihilangkan --sekalipun dari najis mughallazhah-- adalah tidak menjadi masalah .
Jika masih terdapat warna dan baunya, maka benda tersebut belum suci.
Barang yang terkena najis hukmiyah --seperti air kencing yang telah kering dan hilang cukup sifat-sifatnya--. Semua disucikan dengan mengalirkan air satu kali. Jika barang tersebut berupa biji-bijian atau daging yang dimasak dengan barang najis, atau pakaian yang diwarna dengan benda najis, maka dalamnya bisa menjadi suci dengan menyiram luarnya, seperti halnya pedang yang ditempa dengan benda najis, maka cukup disiram bagian luarnya, sucilah seluruhnya.
Disyaratkan agar suci tempat yang terkena najis, hendaklah air yang sedikit, sampai pada tempat najis. Jika barang yang terkena najis sampai (dicelupkan) pada air sedikit, bukan banyak, maka air sedikit tersebut hukumnya menjadi najis, sekalipun air tidak mengalami perubahan. Karena itu, air tersebut tidak bisa menyucikan barang lain.
Air yang mendatangi (mengairi) pada tempat yang terkena najis tidak sama dengan lainnya (barang terkena najis, yang mendatangi/memasuki air) sebab air yang ada pada bentuk pertama dengan kekuatannya bisa menolak najis (pada diri dan lainnya).
Jika mulut seseorang terkena najis, maka cukuplah mengambil dengan tangan lalu membasuhnya, sekalipun tidak mengucurkan air dari atas mulutnya bagaimana pendapat Guru kami, di samping itu, dia wajib mencuci bagian luar mulut, meskipun sekadar memutarkan air dengan tangannya.
Sebagaimana menuangkan air ke dalam wadah yang terkena najis lalu memutar mutarkannya ke samping kiri-kanan (hal ini sudah mencukupi atas kesucian wadah tersebut).
Bagi orang seperti di atas, tidak boleh menelan sesuatu sebelum mulutnya suci kembali, meskipun sekadar membolak-balik air dalam kerongkongan.
Cabang
Jika sejengkal tanah terkena semacam air kencing dan telah kering, lalu pada tempat itu tuangkan air sampai merata maka tanah tersebut sudah menjadi suci, sekalipun air tidak masuk dalam pori-pori tanah baik tanah itu keras ataupun gembur. Jika tanahnya tidak dapat meresap najis yang mengenainya maka sebelum menuangkan air yang sedikit, harus dihilangkan benda najisnya, sebagaimana jika najis itu berada di suatu tempat. Jika najis itu keras dan telah hancur, lalu bercampur dengan debu, maka tempat yang terkena najis tidak bisa menjadi suci sebab dengan hanya menuangkan air, sebagaimana debu yang tercampur sejenis nanah berdarah, tetapi semua tanah (debu) yang tercampuri najis itu harus dihilangkan.
Sebagian fukaha memfatwakan kewajiban membasuh Mushaf yang terkena najis yang tidak ma'fu, sekalipun menyebabkan rusak, atau milik anak yatim. Guru kami berkata: Bahkan membasuh Alqur-an yang ter kena najis dihukumi fardu ain. Lain halnya jika najisnya hanya mengenai pada sejenis sampul atau tepian Mushaf.
Cabang
Air bekas basuhan barang yang terkena najis sekalipun najis maf'u, seperti setitik darah adalah suci hukumnya. Jika air telah pisah (dari tempat yang dicuci) sedangkan materi dan sifat-sifat najis telah hilang, air tidak berubah, timbangannya tidak bertambah setelah diperhitungkan air yang meresap pada baju (yang dicuci) dan air tambahan dari kotoran, serta tempat yang terkena najis (baju) yang suci kembali.
Guru kami berkata: Yang jelas Untuk perhitungan banyaknya air yang terserap dan yang tambahan dari kotoran, adalah cukup dengan persangkaan saja.
Cabang
Umpama ada seekor tikus jatuh di tengah-tengah makanan yang padat, misalnya bubur samin, lalu mati, maka cukuplah diambil serta membuang bagian sekelilingnya yang terkena. Sedangkan sisanya tetap suci. Batas makanan disebut padat adalah bila diambil sebagian maka bagian kiri-kanannya tidak meleleh ke bagian yang terambil tadi.
Cabang
Jika air perigi (sebuah lubang yang digali ke dalam tanah untuk mendapatkan air tanah) yang sedikit terkena najis, maka tidak bisa suci dengan cara dikuras. Tapi harus dibiarkan lebih dahulu, agar air bertambah banyak dari sumbernya, atau dengan menambah air yang lain Kalau air pergi itu banyak, tetapi telah berubah lantaran najis tersebut, maka air itu tidak bisa menjadi suci sebelum perubahan itu hilang. Jika dalam air perigi yang banyak masih tertinggal najis misalnya bulu tikus, sedangkan tidak berubah, maka air tersebut dihukumi suci, dan menyucikan namun tidak bisa gunakan (dengan diambil menggunakan timba atau lainnya).
(Air tersebut tidak bisa dipergunakan) sebab timba penciduknya senantiasa terkena rambut najis itu. Hendaknya air yang berada dalam perigi dikuras dulu semuanya. Jika seseorang menciduk sebelum air dikuras, serta ia tidak meyakini ada rambut tikus yang ikut, maka tidaklah mengapa (air tetap suci), bahkan meskipun ia mempunyai persangkaan rambut (bulu) ikut terciduk; terikutnya rambut, dasarnya adalah meletakkan prinsip mendahulukan asal dari pada hukum lahir.
Barang yang terkena najis semacam anjing (najis mughallazhah) bisa suci kembali dengan mencucinya tujuh kali basuhan setelah materi najisnya hilang sekalipun baru hilang setelah beberapa basuhan, dalam hal ini hanya dihitung sekali. Salah satu antara basuhan tersebut dicampur dengan debu yang sah digunakan tayamun, yang dicampur dengan air, sekira menjadi keruh dan ada bekasnya di air itu, serta ketujuh basuhan tersebut meratai tempat yang terkena najis. Jika barang yang terkena najis dimasukkan dalam air yang tidak mengalir, maka cukuplah dengan menggerakkan sebanyak tujuh kali.
Guru kami berkata: Dalam hal ini telah jelas, bahwa gerakan ke sana dihitung sekali, dan kembali lagi dihitung satu kali lagi. Jika dimasukkan dalam air yang cukuplah dengan mengalir lewatnya tujuh kali aliran air. Jika di tanah yang berdebu, maka air tidak usah dicampur dengan debu lagi (maksudnya tanah yang terkena najis ini, lalu disucikan).
Humam Malik dan Imam Dawud ra berkata: Anjing itu hukumnya suci (begitu juga menurut Imam Malik babi itu hukumnya suci.) Air sedikit yang terjilat anjing tidak menjadi najis. Hanya saja wadah yang terjilat anjing wajib dibasuh, semata-mata karena penekanan ibadah (bukan karena najis).Cabang
Jika seseorang menyentuh anjing dalam air yang banyak, maka tangannya tidak menjadi najis. Jika anjing mengangkat kepala nya dari wadah yang terisi air (sedikit) dan mulutnya basah, tetapi tidak diketahui ia telah menyentuhnya, maka air tersebut tidak dihukumi najis.
Najis yang diampuni (ma'fu) adanya
1. Semacam darah nyamuk, termasuk segala serangga yang berdarah tidak mengalir (darah dingin), misalnya mrutu dan kutu. Kalau kulitnya tidak termasuk diampuni.2. Darah sejenis kudis, misalnya. bisul api (udun semat), darah luka-luka, nanah dan nanah darah (manah uwuk: Jawa) Sekalipun darah nyamuk dan kudis itu banyak dan mengalir bersama-sama keringat.
Untuk yang pertama (darah nyamuk), meskipun sampai meratai pakaian menurut nukilan-nukilan yang dapat dipegangi (Dengan syarat) darah-darah tersebut bukan diusahakan oleh orang yang bersangkutan. Jika darah-darah tersebut banyak karena diusahakan, misalnya sengaja membunuh nyamuk pada pakaiannya, memeras kudis memakai pakaian yang berlumuran darah nyamuk misalnya lalu dipakai salat; atau tikar yang dipakai salat berlumuran darah atau memakai pakaian tambahan yang berdarah tanpa tujuan sebagaimana berhias, maka darah semacam ini tidak diampuni adanya, kecuali jika darah itu hanya sedikit sebagaimana yang dikatakan oleh pendapat yang Ashah.
Hal di atas sebagaimana yang termaktub dalam kitab At-Tahgig dan Al-Majmu'. Meskipun pembicaraan kitab Ar-Raudhah menetapkan, bahwa darah sejenis kudis sekalipun diperas dan jumlahnya banyak adalah dimpuni adanya. Dimana Ibnu Naqib dan Al-Adzra'i berpegangan kitab Ar-Raudhah tersebut.
Satus ampunan dalam masalah ini dan yang akan dituturkan nanti, adalah terletak pada penggunaan salat, bukan pada semacam air yang sedikit; karena hal ini menjadikan air najis sekalipun jumlah najis yang mengenai sedikit. Tidak mempengaruhi bagi badan yang dalam keadaan basah terpercik darah sedikit yang diampuni adanya, lagi pula tidak wajib menyeka badan, sebab hal tersebut sulit dilakukan.
3. Darah sedikit yang timbul dari orang lain, yang bukan najis mughallazhah. Lain halnya jika najis berjumlah banyak. Termasuk kategori darah orang lain, misalnya yang dikatakan oleh Imam Al-Adzra'i adalah Darah sendiri yang telah terpisah, lalu mengenai pada
badannya.
4. Darah sedikit jenis haid dan darah hidung, sebagaimana yang termaktub dalam kitab Al-Majmu'. Dikiaskan dengan keduanya adalah darah semua lubang tubuh selain lubang jalan najis, seperti cloaca (lubang anus atau dubur).
Dasar penilaian sedikit dan banyak, adalah kebiasaan yang berlaku. Sesuatu yang masih disangsikan akan banyaknya adalah di hukumi sedikit. Jika ada darah berceceran diberbagai tempat, seandainya dikumpulkan jumlahnya banyak menurut Imam Al-Haramain darah itu dihukumi sedikit. Sedangkan menurut Imam Al Al-Mutawalli dan Ghazali lainnya, adalah dihukumi darah banyak. Pendapat yang terakhir ini telah dikuatkan oleh sebagian fukaha.
5. Darah yang keluar sebab tusuk jarum dan bekam, sekalipun banyak, selagi masih berada ditempatnya. Salat dihukumi sah, bagi orang yang gusinya berdarah sebelum dicuci, selagi ia belum menelan ludah ketika salat. Sebab, darah gusi itu dima'fu adanya, dalam arti
pula bercampur dengan air ludah sendiri. Jika seseorang mulai mengeluarkan darah hidung sebelum salat dan terus-menerus keluar maka jika dapat diharapakan pendarahannya selesai dalam waktu salat masih luas, hendaknya ia menanti berhentinya; kalau
tidak, hendaknya disumbat sebagaimana orang yang beser kencing membalut penisnya.
Lain halnya dengan pendapat yang mengatakan, bahwa orang itu wajib menanti berhenti pendarahan sekalipun waktunya terlewat, sebagaimana salat harus ditunda lantaran mencuci pakaian yang terkena najis sekalipun waktunya terlewat. Masalah hidung yang berdarah dengan pencucian pakaian haruslah dibedakan, sebab dalam masalah pencucian pakaian yang terkena najis, adalah adanya kemampuan menghilangkan najis dari asalnya (sebelummengerjakan salat); Lain halnya dengan masalah pendarahan hidung (sebab orang yang berdarah hidungnya tidak mampu menghilangkan darah tersebut).
6. Sedikit lumpur tempat air berlalu yang telah diyakini najisnya, sekalipun berupa najis mughallazhah. Sebab, rasanya berat untuk menghindarinya. (Tetapi) selagi materi najisnya tidak tampak dengan jelas (Masalah pengampunan najis ini) adalah dibedakan sesuai dengan waktu (karena itu, yang dima'fu di musim hujan, tidaklah dima'fu di musim kemarau) dan tempatnya, yaitu pakaian dan badan (karena itu, yang dima fu di pakaian bagian bawah dan dikaki, adalah tidak dima'fu dilengan baju dan ditangan). Jika suatu najis sudah dipastikan datang dari jalanan, maka tidak diampuni adanya, sekalipun jalanan anjing, bahkan meratai jalan. Hal ini berdasarkan berbagai tinjauan pendapat adalah dibedakan sesuai dengan waktu (karena itu, yang dimafu di musim hujan, tidaklah dima'fu di musim kemarau) dan tempat arrukami berfatwa tentang jalan yang tidak berlumpur, tetapi di situ terdapat kotoran manusia,anjing dan binatang-binatang, lalu terkena air hujan, maka
najis tersebut diampuni adanya di kala sulit menghindarinya.
Demikian penjelasan mengenai "Pengertian dan contoh najis dalam kehidupan sehar-hari"
yang diambil dari Kitab Fathul Mu'in, semoga dapat diambil manfa'atnya.
syukroon
BalasHapusfacrecrr
BalasHapus